MIS Islamiyah Margasari 01 Sidareja
Sekian dan terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.
SEJARAH CANDI BOROBUDUR (INDONESIA)
SEJARAH PEMBANGUNAN
Tidak
ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan
apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan
antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis
aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.
Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini
sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa
Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan
benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun
825.
Terdapat
kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu
beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama
Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto
menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu
itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan
Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan
pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir,
letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur. Candi Buddha
Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di
Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung
sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan
candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat
itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin
kepada umat Buddha untuk membangun candi. Bahkan untuk menunjukkan
penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha
(komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang
dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam
Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami oleh para
arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah
yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa
saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu
— wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa —
yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan
Ratu Boko.[28] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di
Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan
sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi
dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
TAHAPAN PEMBANGUNAN
Para ahli arkeologi menduga bahwa
rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai
puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini
membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur
memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan
stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan
tahapan pembangunan Borobudur:
Tahap pertama: Masa
pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M).
Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan
pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari
batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga
menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup
struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat.
Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai
bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup
struktur asli piramida berundak.
Tahap kedua:
Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang
diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
Tahap ketiga:
Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal
induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih
kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu
stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar,
dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief
Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa
stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar.
Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan
condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit
tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian
bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah
diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya
dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan
hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka
ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini
adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh
candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief
Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
Tahap keempat:
Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan
terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran
ujung kaki.
HILANGNYA CANDI BOROBUDUR
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama
berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian
ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar
menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga
kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan
suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006,
Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur
setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor
inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber
menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.
Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu
Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan
Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu
Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai
benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam
pada abad ke-15.
Monumen ini tidak
sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai
bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang
dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang
ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini.
Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal
bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja
Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur"
dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam
Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan
Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi
monumen ini pada 1757. Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk
mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang
terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa
berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan
meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam,
reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus
dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan
yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini.
Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan
ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti
demam berdarah atau malaria.
PENEMUAN KEMBALI CANDI BOROBUDUR
Buddha Borobudur telah lama menjadi
incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882,
kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya
dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil,
ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen. Akibatnya, pemerintah
menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh
atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya
menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini
dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi
Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor
benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya
direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn
ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya
untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda
mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan
Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha
bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk
kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di
Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak
ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.
MASA PEMUGARAN CANDI
Borobudur kembali menarik perhatian pada
1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki
tersembunyi. Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat
pada kurun 1890–1891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk
mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah
membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini:
Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga
anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan
dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal
tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya
yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut
bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya,
memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa
dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki
sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan
lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar
langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total
biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan
1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp. Tujuh bulan
pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan
kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun
kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van
Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain
yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp
melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi
chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada
pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan
tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya
rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau
kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga
Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran
ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak
memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring
dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan. Van Erp menggunakan beton yang
menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang
menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan
masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak
itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir
1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat
internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada
1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat. Pemerintah Indonesia dan
UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu
proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. Pondasi diperkokoh dan segenap 1.460
panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh
lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan
saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan.
Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan
menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[38] Setelah renovasi,
UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun
1991.[3] Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya
kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah
budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang
monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi)
"secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi
yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik
dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".
ARSITEKTUR
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa
Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak pencapaian keselarasan teknik
arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan
dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga
merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau
piramida bertingkat yang ditemukan dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai
perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia dan perjuangan mencapai
Nirwana dalam ajaran Buddha.
KONSEP RANCANGAN BANGUNAN
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah
stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah
pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang
melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran
Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan
secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan
kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam
ajaran Buddha.[51] Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi
Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada tiap sisinya.
Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur
sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja
ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.[34] Kaki tersembunyi ini
terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga.
Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir
untuk membuat adegan dalam gambar relief.[52] Kaki asli ini tertutup oleh
penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi
sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini
untuk mencegah kelongsoran monumen.[52] Teori lain mengajukan bahwa penambahan
kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan
Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.[34] Apapun alasan
penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan
dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam
kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur
melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau
"nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu
yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli
yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga
yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara
disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini.
Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume
13.000 meter kubik.[5]
Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk
lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli
dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat
lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212
panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan
diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini
melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian
Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di
atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam
relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.[5] Pada pagar
langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari
ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai
ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika
(stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran
relief.
Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong
Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya
tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa
atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan
ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran
terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang
mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk
lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32,
24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan
lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil
dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan
di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar
patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas
menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu
ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan
ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan
tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar
ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha
yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal
melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama,
patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.
Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak
boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini
menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga
bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan
sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk
serta terbebas dari lingkaran samsara.
BERIKUT BEBERAPA FOTO RELIEF YANG ADA DI CANDI BOROBUDUR
Salah satu ukiran Karmawibhangga di
dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara) [gambar kiri]
Pangeran Siddhartha Gautama mencukur
rambutnya dan menjadi pertapa [gambar kanan]
Sekian dan terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.
0 komentar:
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang Bersifat Membangun, Senantiasa Kami Tunggu.